Selasa, 14 Maret 2017

Masyarakat yang Hidup



Artikel Kesembilan

MASYARAKAT YANG HIDUP DALAM TEMPAT PERIBADATAN SEBAGAI SENTRA PEMBANGUNAN JIWA DAN RAGA BANGGA MENJADI TUJUAN WISATA DUNIA


Oleh: Aryandi Yogaswara

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

Melanjutkan tulisan tentang struktur pemerintahan 7 Lapis Langit yang memposisikan fungsi RT dalam memimpin setidaknya 40 KK sebagai lapis pertama pemerintahan, dan RW yang memimpin setidaknya 3 RT sebagai lapis selanjutnya, maka yang akan disampaikan disini adalah beberapa gagasan pemberdayaan RT dan RW.

Setelah terpilih, seorang ketua RT dan ketua RW perlu mendapat pelatihan kepemerintahan, kepemimpinan, dan kewiraan. Ketua RT dalam tatanan masyarakat  mesti dilihat sebagai Perwira Pertama, dilatih secara khusus dan diberikan pengetahuan bagaimana memimpin warganya.

Dibekali tata nilai yang kuat disertai pengetahuan teknis implementasi yang praktis tentang bagaimana membangun RT dan RW sebaik-baiknya.

Berbagai kisah sukses dan contoh kasus di berbagai RT dan RW, serta permasalahan-permasalahan yang muncul didokumentasikan dengan baik sehingga bisa dijadikan bahan masukan dan pembelajaran untuk terus melakukan perbaikan dan pengembangan seluruh RT dan RW di Indonesia (continous improvement).

RT dan RW dilatih untuk memahami arah pembangunan yang dilakukan di daerahnya, menyelaraskan pembangunan di lingkungannya sesuai dengan arahan kebijakan dari struktur yang lebih tinggi, baik dari Presiden, Bupati, Camat, maupun Kepala Desa.

Dalam melakukan kegiatan rutinnya, bercermin dari sebagian kebiasaan masyarakat desa dalam melakukan rutinitas pengajian setiap satu minggu atau 7 hari sekali, maka kebiasaan ini bisa diterapkan dalam struktur RT dan RW.

Setiap minggu Ketua RT perlu untuk berkumpul bersilaturahmi bersama 40 KK yang berada dalam kepemimpinannya, agendanya adalah menyampaikan hal-hal yang perlu disosialisasikan kepada warga, hal perihal yang berkenaan dengan negara, masyarakat, dan arah pembangunan RT, serta isu-isu apa saja yang muncul, selain tentunya melakukan pengajian atau doa bersama.

Di kantor-kantor istilah untuk kegiatan seperti ini disebut sebagai 'weekly meeting' sementara dalam kegiatan keagamaan, umat Muslim mengenalnya sebagai Jumatan dan umat Nasrani menyebutnya dengan istilah kegiatan Misa mingguan, serta umat Yahudi menggunakan istilah Sabatan.

Tempat berkumpul warga bisa bergiliran dari satu rumah ke rumah lainnya, atau menggunakan fasilitas tempat ibadah yang sudah ada seperti mesjid, gereja, pura, dan wihara.

Pemberdayaan tempat ibadah sebagai tempat kumpul warga dan pusat kegiatan masyarakat akan menghidupkan jiwa dari penduduk RT/RW.

Karenanya tempat ibadah perlu untuk menjadi tempat yang layak sebaik-baiknya, baik untuk ngobrol santai warga yang tua maupun muda, juga untuk membicarakan hal-hal yang penting dan strategis di masyarakat.

Bayangkan apabila setiap RW yang terdiri dari 120 KK memiliki satu tempat ibadah yang bisa dijadikan tempat berkumpul dengan fasilitas tambahan seperti lapangan olah raga, teras mesjid atau pavilion untuk kegiatan temu warga, dan tempat untuk melakukan usaha perekonomian RW maka tempat ibadah selain untuk kebutuhan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa akan juga menjadi pusat pembangunan warga.

Sebuah mesjid, gereja, pura, atau vihara yang difungsikan juga sebagai sekretariat bagi RT dan RW, yang ditunjang fasilitas kesekretariatan seperti komputer, printer, jaringan internet, dan lain sebagainya akan membuat pembangunannya tidak asal, selalu dibuat dengan perencanaan yang matang dan lokasi yang strategis.

Bisa menjadi tempat kegiatan penyediaan jasa kesehatan berkala seperti Posyandu, ruang tempat ibu-ibu PKK berkumpul dan anak-anak serta remaja merencanakan dan melakukan kegiatan-kegiatan yang positif.

Mesjid yang fasilitasnya lengkap, dengan adanya lapangan olah raga yang berfungsi juga sebagai tempat bermain anak-anak, bisa juga digunakan untuk kegiatan bazar bulanan.

Ditambah adanya lumbung atau koperasi warga sebagai sentra kegiatan perekonomian bersama dalam memenuhi kebutuhan harian atau bulanan warga minimal dalam penyediaan sembako akan membangkitkan rasa persaudaraan, keguyuban, serta gotong royong antar masyarakat.

Apalagi dengan disiapkannya fasilitas perpustakaan dan internet, dengannya siapapun bisa mengakses ilmu pengetahuan disini.

Pemerintah setiap minggu atau setiap bulan memfasilitasi berbagai majalah elektronik dengan berbagai tema, misalnya tema pembangunan dan pemerintahan, motivasi, keagamaan, kegiatan PKK, Pramuka dan Karang Taruna, ilmu pengetahuan Alam dan Sosial, kesehatan, hukum dan kenegaraan, komputer, bisnis dan kewirausahaan, otomotif, pertanian dan perkebunan, info cara bercocok tanam, dll.

Banyak sekali ilmu dan pengetahuan yang bisa disediakan melalui perpustakaan berbasis internet atau e-library. Setiap RT dan RW dikondisikan sebagai organisasi yang belajar (learning organization), isinya menampung kebutuhan baca baik untuk anak-anak maupun dewasa, tua atau muda, hampir semua tema ada, yang bisa dibaca sesuai dengan ketertarikan, minat dan bakat masing-masing warga dengan Ketua RT dan RW mendorong semangat baca warga dan secara berkala mengundang narasumber yang mumpuni untuk berbicara tentang sebuah materi, baik narasumber luar ataupun dari kalangan warga sendiri bergiliran.
Materi yang disiapkan di perpustakaan warga tidak asal, semua terstruktur dengan rapi dan terencana, karena yang memfasilitasi materinya adalah pemerintah.

Setelah timbul kegemaran membaca, selain timbulnya tata nilai baru yang baik dan terus berkembang, warga diharapkan bisa menerapkan hasil bacanya dalam tindakan nyata, pembangunan di lingkungan RW dan Desa pasti akan terbentuk dan terpengaruh oleh hasil baca sehingga ide-ide untuk mengembangkan kegiatan perekonomian dan usaha meningkatkan kualitas kesehatan serta kesejahteraan warga akan terus muncul menjadi kekuatan dan ketahanan warga.

Apa yang diinstruksikan dari pusat atau langit ketujuh bisa segera sampai di langit pertama atau RT, negara menjadi hidup dan terus membangun dirinya sendiri.

Keberadaan rakyat tidak lagi dilihat sebagai beban oleh pemerintah yang harus dipenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatannya dengan cara disuapi, namun setiap rakyat dilihat sebagai mitra pembangunan dan aset yang sangat berharga yang dapat diarahkan dan dimotivasi untuk mandiri dan berdikari.

Kegiatan warga yang hidup akan membangun kesadaran jiwa, bahwa hidup bukan sekedar menjalankan rutinitas bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja.

Sampai disini pertanyaan yang mungkin muncul adalah: "Kapan waktunya membangun masyarakat?" Dalam seminggu selama 5 sampai dengan 6 hari kita sibuk bekerja, yang tersisa hanya 1 atau 2 hari saja untuk beristirahat atau berlibur dari segala rutinitas.

Menjawab ini, saya akan menyampaikan sebuah jawaban yang mungkin dianggap konyol tetapi sebetulnya tidak.

Ini tentang negeri kita yang memiliki sumber daya alam yang luar biasa dalam hal kepariwisataan.

Sangat disayangkan apabila anugrah kepariwisataan di negeri kita tidak dimanfaatkan dengan optimum.

Bayangkan bila bangsa Indonesia menyatakan pada dunia bahwa di negeri ini waktu kerja dalam seminggu hanya 4 hari saja dan 3 hari adalah waktu berlibur.

Setelah penataan ulang perekonomian berdasarkan konsep lumbung koperasi, dan sistem pemilihan tanpa partai dalam menetapkan para pemimpin, sekali lagi dipastikan dunia akan terkejut ketika bangsa Indonesia menyatakan hari kerja dalam seminggu hanya empat hari saja!

Tentunya dengan tanpa mengurangi produktifitas kerja. Waktu kerja dalam seminggu tetap 40 jam, yang biasanya dibagi per hari menjadi rata-rata 8 jam ditambah istirahat 1 jam sehingga total 9 jam perhari, mari kita ubah sehari waktu kerja menjadi 10 jam ditambah 2 jam istirahat yang dibagi misalnya menjadi tiga waktu, yaitu istirahat siang jam 12 selama 45 menit, istirahat sore jam 3.30 selama 30 menit, dan istirahat malam jam 6 selama 45 menit, total menjadi 12 jam.

Tinggal dipilih, apabila masuk kerja pukul 7 pagi berarti pulang kerja jam 7 malam, atau jika masuk kerja jam 8 pagi maka pulangnya jadi jam 8 malam.

Sisa waktu 3 hari seminggu jadinya libur, weekend menjadi panjang, kalau ketemu libur hari raya jadilah waktunya panjang sekali untuk dipakai berlibur dan berpariwisata.

Dengan begini pasti dunia pariwisata di negeri kita akan bangkit karena semua tempat wisata akan berlomba menyediakan yang terbaik bagi para pengunjung, akibatnya bukan hanya wisatawan domestik tetapi bagi wisatawan mancanegara pun akan meningkatkan daya tarik untuk mengunjungi Indonesia.

Betapa bersyukurnya kita, alam yang dijaga memberi anugrah devisa yang lebih menguntungkan dari pembangunan pabrik-pabrik. Tidak perlu modal besar, hanya perlu menjaga dan melestarikan apa-apa yang sudah ada.

Nikmat Tuhan mana lagikah yang akan kita dustakan bagi negeri ini?

Kembali kepada libur tiga hari, hal ini tentunya bukan berarti hari Jumat, Sabtu, dan Minggu tidak boleh bekerja di kantor atau pabrik, tentunya boleh-boleh saja apabila terhitung lembur atau dibuat sistem tukar hari.

Tidak juga berarti kegiatan perdagangan, pariwisata, atau pendidikan kelas tambahan menjadi libur, justru di hari libur kegiatan di bidang-bidang seperti ini bisa banyak dibangkitkan.

Waktu diluar kerja rutin seminggu empat hari bisa digunakan untuk banyak hal yang memberdayakan, seperti waktu berkumpul yang lebih banyak dengan keluarga, mendorong aktifitas jalan-jalan, piknik dan berwisata yang pasti akan menghidupkan gairah wisata di Indonesia sebagaimana yang disebutkan di atas.

Atau bisa juga digunakan untuk menambah ilmu dengan mengikuti kuliah tambahan atau berbagai kursus.

Dan boleh jadi waktu 3 hari tersebut bagi para pekerja kantoran dan pabrik bisa dimanfaatkan untuk mencoba berwirausaha yang mendatangkan tambahan pemasukan bagi keluarga, khususnya bagi keluarga muda atau yang belum menikah.

Terakhir, sebagaimana pembahasan di awal tentang kegiatan sosial kemasyarakatan, tentunya selain kegiatan-kegiatan tersebut di atas, pastilah kita bisa meluangkan waktu untuk melakukan kerja bakti dan sosial, setidaknya seminggu atau sebulan sekali bisa dimanfaatkan untuk aktifitas sosial kemasyarakatan sebagai kewajiban dari setiap warga.

Demikianlah, pada akhirnya pesan yang ingin diangkat dari gagasan-gagasan dalam tulisan ini adalah usaha untuk memunculkan kesadaran jiwa dari setiap masyarakat Indonesia, bahwa pembangunan fisik materi bukan tujuan utama dari pemerintahan dan pembangunan di Indonesia.

Tujuan utamanya adalah jiwa dari manusia agar bisa menikmati hidup senikmat-nikmatnya.

Bangkitnya ruh kesadaran menyadarkan kita, bahwa semua pembangunan fisik materi dilakukan bukan untuk meraih kenikmatan materialistis, bukan itu tolak ukur kesuksesan pembangunan sebuah bangsa, tetapi tujuan dari pembangunan segala infrastruktur materi adalah sebagai sarana dalam membangun jiwa manusia seutuhnya.

Pembangunan jalan, jembatan, pasar, gedung perkantoran, pabrik-pabrik, bandara, pelabuhan, dan lain sebagainya adalah alat atau bagian dari pembangunan jiwa, bukan tujuan yang utama, tujuan utamanya adalah pembangunan dan kebahagiaan jiwa.

Inilah fungsi dan peran dari para pemimpin, dari level tertinggi Presiden, sampai tingkat paling bawah Ketua RT, yaitu untuk Membangun Jiwa, yang dengannya kesuksesan materi pasti akan mengikuti dengan sendirinya sehingga semua keberhasilan yang diraih akan dilihat sebagai Rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Ingat kembali lagu Indonesia Raya:

"Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya, untuk Indonesia Raya!"

Indonesia akan menjadi Raya atau Besar apabila Jiwanya sudah dibangun, dan mengikuti kemudian barulah Badannya dibangun. Jangan terbalik.

Demikianlah sebagian dari apa yang saya lihat dari Indonesia di masa yang akan datang, tidak lama lagi. Sebuah semangat untuk Indonesia yang berjaya di atas segala bangsa.

Bagaimana dengan Anda, apa yang Anda lihat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar