Selasa, 14 Maret 2017

Jiwa Manusia, Akhirat, dan Hikmat



Artikel Kedelapan

JIWA MANUSIA, AKHIRAT, DAN HIKMAT SERTA KEBIJAKSANAAN DALAM MENGIKUTI PETUNJUK TUHAN BAGI BANGSA INDONESIA

Oleh: Aryandi Yogawara

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa


Hikmat adalah anugrah kebijaksanaan dari Yang Maha Kuasa kepada manusia, sementara Kebijaksanaan adalah kemampuan memutuskan segala sesuatu berdasarkan kepada nilai baik dan benar yang berimbang.

Hikmat dan Kebijaksanaan melahirkan kesadaran bahwa Hukum Tuhan adalah dasar dari segala Hukum dan  Perundangan yang digunakan dalam mengatur tata kehidupan manusia dimanapun berada.

Dasar dari Hukum Tuhan adalah: "kebaikan berbuah kebaikan dan keburukan berbuah keburukan", prinsip inilah sumber dari segala hukum yang dibuat oleh manusia, adalah hukum yang utama dan terutama dalam mengatur tatanan sosial kemasyarakatan dimanapun berada.

Berlandaskan hukum yang terutama itu, setiap negara kemudian menetapkan Undang-undang Hukum Pidana dan Perdata bagi rakyatnya yang melakukan perbuatan melampaui batas sehingga merugikan sesamanya manusia atau alam.

Tujuan atau hakikat dari hukum negara atau hukum di dunia adalah untuk membebaskan manusia dari akibat perbuatan buruknya, agar pembalasan terjadi sebelum "alam" atau Yang Maha Kuasa melakukan perhitungan dan memberikan pembalasan.

Prinsipnya, menghitung kesalahan diri sebelum dihitung oleh orang lain atau alam akan berakibat pada lebih ringannya hukuman yang diterima.

Hal ini sebagaimana kondisi hukum yang diterapkan setiap negara di dunia, bahwa seseorang yang menyatakan bersalah atas kesalahan yang diperbuat dan berinisiatif meminta dijatuhkan hukuman kepada Hakim, lebih baik atau akan dijatuhi hukuman lebih ringan daripada seorang tersangka mengaku tidak bersalah dan berusaha menutupi kesalahannya dengan berdusta.

Orang yang mengaku tidak bersalah namun kemudian terbukti bersalah dalam pengadilan, akan mendapat hukuman yang jauh lebih berat daripada mereka yang menyerahkan diri dan mengaku bersalah serta meminta dijatuhkan hukuman.

Kembali kepada prinsip dasar bahwa pembalasan atas setiap perbuatan buruk cepat atau lambat pasti akan terjadi baik selama masih hidup atau setelah kematian.

Perhatikan bahwa ajaran ketuhanan yang ada di berbagai bangsa dan agama dari masa ke masa meyakini bahwa pembalasan hukuman apabila tidak selesai di dunia akan berhadapan dengan konsekuensi hukuman setelah kematian yang lebih berat.

Pemahaman atau konsep akan adanya akhirat atau kehidupan setelah kematian berawal dari keyakinan adanya ruh atau jiwa dibalik setiap badan fisik yang tampak.

Baik dalam bentuk konsep surga dan neraka dengan berbagai nama dan penjelasannya, maupun konsep reinkarnasi dan lain sebagainya, pada dasarnya semua agama dan keyakinan yang membentuk peradaban manusia seperti sekarang ini konsisten pada keyakinan akan adanya 'kehidupan' lain setelah kematian.

Pertanyaannya sekarang, darimana manusia-manusia yang awal-awal menyampaikan berita tentang adanya kehidupan setelah kematian mendapatkan pengetahuan tentang hal yang tidak bisa dibuktikan secara pasti kenyataannya?

Bukankah tidak satupun diantara mereka yang awal-awal mewartakan berita tentang adanya kehidupan setelah kematian pernah mati, dan hingga kini pun belum pernah ada diantara kita, manusia yang benar-benar mati jasadnya menjadi hidup kembali untuk menceritakan adanya surga atau neraka.


Menjawab pertanyaan di atas, saya menuliskannya dalam syair Hikmah:

Hikmah
Syair ke 2, Bait ke 13


Wahai manusia, mengapa akhirat membingungkanmu?
Bukankah tidurmu sebagai pelajaran atas matimu?

Ketika badan tertidur, dan jiwa dalam genggaman Tuhannya, lalu kalian bermimpi dan bertanya-tanya apakah mimpi itu?

Bukankah di kala tidurmu, badanmu terdiam, matamu terpejam, dan pendengaranmu tidak mendengar?

Inilah pelajaran dari Tuhanmu tentang akhirat.

Mereka berkata, "Sebagaimana terjagamu, terbawalah itu kedalam mimpi."
Demikian juga akhirat adalah sebagaimana perbuatanmu di dunia.

Tidakkah ini tidak mengherankan bagimu?

Atau sebagian yang berkata, "Mimpi hanyalah bunga tidur."
Maka adakah Tuhanmu menciptakan suatu kesia-sian pada diri manusia?

Kemudian setelah itu, apakah yang menyesatkanmu dari keyakinanmu tentang hukum di dunia dan akhirat, setelah datangnya penjelasan yang menjelaskan?

Pelajaran kehidupan tentang alam setelah kematian atau adanya kehidupan setelah kematian diantaranya berasal dari kenyataan akan adanya mimpi dalam kehidupan manusia.

Ketika seseorang sedang tidur, badannya terlelap, berada dalam keadaan tidak sadar. Dalam keadaan tidur yang benar-benar lelap, seorang Ayah yang dipanggil oleh anaknya akan terus tidur seolah tidak mendengar panggilan apapun juga.

Dalam hal ini mari kita katakan, bahwa seseorang yang sedang lelap tertidur dan kemudian bermimpi, jiwanya berada dalam kesadaran yang lain, bahasa lainnya sedang berada di 'dimensi atau alam' yang lain.

Dalam mimpi seseorang bisa mengalami apa saja. Yang menarik, pada saat itu jiwa yang sedang tidak bersama badan selalu 'merasa' ada bersama badan.

Kita bisa bermimpi yang indah atau sebaliknya bermimpi yang buruk.

Misalkan seseorang yang bermimpi dikejar seekor anjing yang besar dan menyeramkan, kemudian ketika hampir tergigit dia terbangun dari mimpinya dengan nafas yang tersegal-segal dan keringat dingin membasahi badannya.

Bersyukurlah ia bahwasannya yang dialami hanya mimpi, kemudian dia teringat tadi pagi seekor anjing lewat di depan rumahnya, iseng ia lempar dengan batu sehingga salah satu kakinya menjadi pincang. Berpikirlah dia, bahwa mimpi buruknya adalah akibat perbuatan buruknya kepada si anjing.

Kita pun pernah mendengar contoh lainnya,  seseorang yang melakukan pembunuhan kemudian dihantui dalam mimpinya oleh arwah-arwah yang penasaran hampir setiap malam.

Demikian mimpi buruk, lalu bagaimana dengan mimpi indah? Biasanya kalau mimpi indah ketika terbangun kita ingin tidur lagi dan melanjutkan mimpinya.

Itulah tidur sebagai pelajaran tentang adanya alam lain atau alam maya selain alam kehidupan sehari-hari atau alam nyata.

Jadi, berdasarkan analogi terhadap mimpi, setelah seseorang meninggal kita sebut dengan istilah "jiwanya pergi meninggalkan badan", masuk ke alam yang lain.

Kita tidak akan pernah benar-benar tahu bagaimana sebetulnya bentuk kehidupan atau keadaan setelah kematian itu, namun demikianlah 'mimpi' sebagai pelajaran atau pengibaratannya.

Perbedaan antara tidur dan mati adalah pada kondisi badan. Setelah mati, jiwa yang terlepas dari badan tidak bisa lagi kembali kepada badan karena sudah habis dimakan belatung di dalam tanah. Akibatnya, ketika kita masuk kedalam alam lain yang buruk ibarat mimpi teramat buruk, kita tidak lagi bisa terbangun, selamanya berada di alam mimpi atau akhirat yang silih berganti 'mimpi' buruknya tanpa tahu kapan akan berakhir.

Apabila baik perbuatannya selama hidup maka baiklah keadaan jiwa setelah kematian, namun jika buruk perbuatannya selama hidup maka jiwa akan bergentayangan dari satu 'mimpi' buruk ke mimpi buruk lainnya yang tidak berkesudahan atau tidak berakhir.

Di alam itu tidak lagi ada waktu sehingga sering disebut dengan istilah alam keabadian.

Demikianlah pelajaran dari tidur yang diibaratkan sebagai kematian badan dan mimpi sebagai pelajaran adanya kemungkinan kehidupan setelah kematian.

Dengan keyakinan adanya pembalasan terhadap setiap perbuatan, baik perbuatan yang baik ataupun buruk, selanjutnya dengan memahami konsep akhirat atau kehidupan setelah kematian, kita akan paham bagaimana konsep hukum di dunia sebetulnya dibuat.

Pemahaman yang entah sudah berapa masa terlupakan oleh banyak manusia padahal sangat penting dan menjadi esensi atau ruh dari setiap hukum yang dibuat sebuah negara.

Bahwa ditetapkannya hukuman bagi para pembuat kesalahan dan keburukan bersifat sebagai 'pengganti' atas pasti datangnya pembalasan bagi mereka.


Bahwa dengan dihukum di dunia melalui hukuman dari negara atau masyarakat, mudah-mudahan seseorang bisa terlepas dari hukuman di akhirat.

Hukum Ilahi yang mewujud dalam bentuk hukum negara menetapkan adanya hukuman pidana atau perdata, apapun bentuk hukuman yang sepakat diberikan, pada hakikatnya ditujukan bukan untuk sekedar memberi efek jera atau rasa takut saja, tetapi hukuman adalah instrumen atau alat yang bisa memberi kesempatan pada manusia untuk membersihkan jiwanya dari kesalahan yang diperbuat.

Dengan menjalani hukuman, harapannya jiwa bisa kembali dibersihkan setelah mendapatkan pembalasan sebagaimana kesalahan yang diperbuat, daripada harus menanggung pertanggungjawaban dengan menerima pembalasan dalam bentuk kesusahan dan kesengsaraan baik sebelum atau sesudah kematian yang diberikan Tuhan, lebih baik segera mengakui kesalahan dan terlepas dari hukuman Tuhan.

Jadi, tujuan diberikannya hukuman adalah tentang penyucian jiwa.

Oleh karenanya ketika sebuah tuntutan hukum diajukan oleh jaksa penuntut kepada seorang terpidana, dalam kasus apapun, baik pembunuhan maupun tindak pidana pencurian atau korupsi, ketika bukti-bukti yang diperlukan tidak bisa secara meyakinkan membuktikan kesalahan yang dituduhkan, maka Hakim hanya perlu secara sederhana memanggil terdakwa, dan mengatakan:

"Wahai tersangka, takutlah terhadap hukuman yang pasti akan datang kepada setiap manusia atas kesalahan yang diperbuatnya, oleh karenanya apabila engkau bersalah maka akuilah kesalahanmu."

"Maka negara akan menetapkan hukumannya kepadamu, yang dengan itu semoga kesalahan engkau diampuni oleh Yang Maha Kuasa dan jiwamu telah dibersihkan sebelum engkau harus menghadapi pembalasan di dunia dalam kesusahan dan kesengsaraan hidup atau di akhirat dalam bentuk hukuman yang lebih menyengsarakan."

"Tetapi, jika engkau menyatakan tidak bersalah, maka pengadilan akan membebaskanmu dan menyerahkan urusanmu kembali kepada alam dan sang pemilik alam yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai sebenar-benarnya Hakim yang mengetahui apa saja yang disembunyikan dan ditampakkan, perhitunganNya amat teliti dan akan membalaskan dengan seadil-adilnya tanpa memberikan celah sedikitpun juga."


Demikianlah sekilas tentang hukum dan hubungannya dengan kesadaran jiwa, mudah-mudahan diantaranya dengan tulisan ini kelak bangsa Indonesia menyadari hakikat fungsi dan peran hukum negara dalam kehidupan bermasyarakat dan bertata negara sebagai pengejawantahan dari Hukum Tuhan.

Dengan kesadaran ini, kita berharap akan ada masa dimana setiap manusia yang bersalah dan melakukan pelanggaran terhadap hukum akan datang kepada hakim dan menyatakan diri bersalah serta memohon untuk diberikan hukuman atas kesadarannya sendiri dan bukan karena tertangkap oleh aparat hukum.

Apabila keadaan ini telah terjadi dan rakyat Indonesia telah berkesadaran terhadap hukum sebagaimana di atas, pastilah bangsa Indonesia akan menjadi sebuah bangsa besar, menjadi contoh bagi bangsa-bangsa lainnya di dunia tentang bagaimana hidup berdasarkan Petunjuk Tuhan Yang Maha Esa.


Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar