Selasa, 14 Maret 2017

Sistem Bagi Hasil



Artikel Keempat

SISTEM BAGI HASIL ADALAH NILAI GOTONG ROYONG PANCASILA


Oleh: Aryandi Yogaswara

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

Sistem ekonomi kerakyatan bukan hendak menjadikan negeri ini seperti negara komunis. Dalam pengimplementasiannya tidak akan terlalu banyak yang berubah dari kondisi saat ini yang memadukan yang baik dari berbagai ideologi perekonomian seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme, dll dalam artian memunculkan jalan tengah diantaranya.

Berbagai macam profesi sebagaimana yang ada saat ini akan tetap ada dari strata profesi paling bawah sampai yang tertinggi, yang berubah adalah cara pandang dalam melihat kesesuaian profesi dengan minat dan bakat atau kemampuan alamiah dari setiap warga sehingga tidak ada pekerjaan yang dipaksakan untuk diperebutkan karena dianggap lebih menguntungkan secara materi dari profesi lainnya sehingga merendahkan profesi yang memberikan sedikit imbalan materi.

Setiap warga akan bekerja berdasarkan kemampuan, minat dan bakat yang dimilikinya dengan menyadari fungsi dan peran pekerjaan dalam sebuah struktur masyarakat semuanya diperlukan dan bermanfaat.

Gaji seorang Direktur tetap akan jauh lebih besar dibandingkan seorang penjaga kebersihan, demikian juga penghasilan seorang usahawan bisa lebih besar daripada karyawan dan seterusnya. Yang berubah dalam hal ini adalah pembagian kesejahteraan, yaitu kebutuhan sosial setiap warga dijamin ambang batas terendahnya.

Yang berarti di posisi paling rendah sekalipun kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan bisa terpenuhi dengan layak tanpa terkecuali.

Demikian juga dengan Bank-bank swasta di Indonesia, tetap akan ada sebagai Lembaga Peminjaman yang berfungsi mendukung perkembangan usaha warga. Yang berubah adalah sistem riba menjadi sistem bagi hasil. 

Fokus dari artikel keempat ini adalah tentang konsep bagi hasil yang akan diceritakan dalam bentuk contoh kasus sebagaimana berikut ini:

Alkisah...

Pada awal tahun, sebuah perusahaan manufaktur berencana membeli mesin untuk meningkatkan produktifitas dan penjualan dalam meraih keuntungan.

Perusahaan ini tahun lalu berjalan dengan modal 10 M.
Keuntungan setelah satu tahun beroperasi adalah 10% dari perputaran modal, yang berarti kinerja modal 10 M menghasilkan keuntungan 1 M

Mesin itu berharga 2,5 M. Akan dibeli dengan uang muka 500 Juta, menggunakan 50% dari keuntungan perusahaan yang 1 M.

Sementara 500 juta sisa keuntungan diputuskan akan ditahan yaitu ditambahkan kedalam modal. Sehingga nilai modal bertambah menjadi  10,5 M.

2 Milyar untuk membeli mesin pinjam dari perusahaan atau badan peminjaman (baca: bank tanpa sistem riba), rencananya akan dicicil selama 2 tahun, dengan pembayaran cicilan dilakukan setiap tahun berdasarkan konsep bagi hasil. 


Dengan pinjaman ini total modal atau harta menjadi 10,5 + 2 = 12,5 M

Proyeksi keuntungan perusahaan setelah membeli mesin ini diharapkan menjadi 2 M, naik 100% dari keuntungan tahun sebelumnya.

Untuk mempermudah penalaran sistem bagi hasil dalam tulisan ini, pinjaman uang 2 M yang adalah UTANG 'dilihat' sebagai MODAL yang sifatnya menambah HARTA perusahaan.

Dengan adanya pinjaman bisa dikatakan perusahaan bekerja dengan 'kekuatan' MODAL = 12,5 M.

Sebagaimana prediksi, setelah satu tahun dari pembelian mesin, keuntungan perusahaan meningkat menjadi 2 M.

Dari 2 M keuntungan, dilakukan bagi hasil dengan perusahaan peminjam modal. Bagi hasil ini sesuai dengan prosentase nilai pinjaman terhadap total modal, yaitu: 2 Milyar ÷ 12,5 Milyar = 16%

16% × 2 M = 320 Juta (Bagi hasil untuk perusahaan peminjam)

Pembayaran cicilan utang dilakukan, diambil dari keuntungan 2 Milyar, sebesar 1 M. Sisa utang 1 M. Dan modal perusahaan jadi 11,5 M dengan mengesampingkan dulu nilai mesin sebagai aset untuk mempermudah analogi di kisah ini.

Sisa keuntungan setelah cicilan utang dibayar dan bagi hasil kepada perusahaan peminjam dibayarkan adalah 680 Juta (2 M dikurangi 1 M + 320 Juta), sepakat untuk dibagikan kepada pemegang saham dan sebagian sebagai bonus bagi karyawan.

Tahun selanjutnya, keuntungan perusahaan adalah 2,2 M. Dilakukan bagi hasil dengan perusahaan peminjam modal, dengan perhitungan 1 ÷ 11,5 M = 8,7 %

8,7% × 2,2 M = 191 Juta

Dan pengembalian pinjaman terakhir dikeluarkan sebesar 1 M dari keuntungan, sehingga keuntungan bersih perusahaan 2,2 M dikurangi 1 M + 191 Juta adalah 809 juta yang langsung dibagikan kepada para pemegang saham dan sebagian sebagai bonus untuk karyawan.

Utang lunas dan harta perusahaan untuk tahun selanjutnya dicatat sebagai 10,5 M ditambah nilai aset sebuah mesin yang telah lunas dikurangi nilai penyusutan selama 2 tahun.

Dari sudut pandang perusahaan/badan peminjam, keuntungan berbisnis dengan perusahaan ini adalah:

Tahun pertama 320 Juta ÷ 2 M = 16 %

Tahun kedua 191 Juta ÷ 1 M = 19,1 %

Dalam hal ini, perusahaan peminjam modal merasa puas dan bersyukur.

Sementara bagi perusahaan, kerjasama dan investasi mesin telah meningkatkan kinerja perusahaan:

Tahun 0 = 1 ÷ 10       = 10%
Tahun 1 = 2 ÷ 12,5    = 16%
Tahun 2 = 2,2 ÷ 11,5 = 19,1%

Dan bagi investor atau pemilik saham nilai keuntungan dengan menanam modal 10 M adalah:

Tahun 0 = 0
Tahun 1 = 680 Juta
Tahun 2 = 809 Juta

Total 3 tahun berinvestasi 10 M telah memberikan keuntungan: 14,9% sebelum dikurangi bonus bagi karyawan.

Sekarang, mari kita lihat apabila dalam kasus di atas yang terjadi adalah kerugian:

Tahun pertama perusahaan hanya memperoleh keuntungan 500 Juta. Persentase kinerja modal 500 Juta ÷ 12,5 M = 4%.

Bagi hasil dengan peminjam adalah 2 ÷ 12,5 = 16%

16% × 500 juta = 80 juta

Sisa keuntungan adalah 420 juta.

Karena kondisi yang buruk, disepakati restrukturisasi utang dari kesepakatan semula akan mengembalikan pinjaman sebesar 1 M setelah 1 tahun, menjadi hanya 420 juta. Sisa utang 1.580 Juta.

Uang 2 M yang dipinjamkan hanya menghasilkan keuntungan bagi badan peminjam sebesar 4% yang bisa dibilang kecil sekali.

Tahun selanjutnya lebih parah, terjadi kerugian sampai 200 juta, sehingga kinerja modal adalah (200) ÷ 12,080 = (1,6)%

Cicilan utang disepakati untuk tidak dibayarkan. Nilai utang dengan keuntungan negatif berkurang 1,580 × 1,6% = 25,2 juta menjadi 1,554 M. (Perhatikan bahwa dalam bagi hasil yang adil, apabila perusahaan merugi maka perusahaan peminjam modal ikut merugi)

Sampai disini analogi peminjaman uang sebagai modal yang menggantikan sistem riba dicukupkan, contoh kasus lain bisa dibuat dengan prinsip dasar bagi hasil sehingga pemberi pinjaman tidak sekedar menuntut pengembalian pinjaman dengan jumlah bunga tertentu tetapi hanya akan mendapat keuntungan apabila perusahaan yang meminjam memperoleh keuntungan dan sebaliknya, ikut merugi apabila perusahaan yang dipinjamkan kondisinya merugi.

Dengan sistem bagi hasil setidaknya ada dua nilai positif yang dibangun:

1. Untung dan rugi dibagi sama-sama.
2. Peminjam dan pemberi pinjaman adalah mitra usaha yang bergotong royong.

Kesimpulannya, sistem bagi hasil sesuai dengan semua sila dari Pancasila.

Tulisan ini menunjukan bahwa pola ekonomi kerakyatan yang berbasis pada gotong royong tidak hanya bisa diterapkan kepada akar rumput, namun berlaku juga pada sistem perusahaan yang berbasis kepemilikan saham.

Prinsipnya adalah memutar uang untuk menjadi keuntungan bisa dilakukan dengan lebih adil dan beradab apabila tidak didasarkan kepada sistem pinjaman riba yang tidak mempedulikan kondisi bisnis peminjam untung atau rugi dengan menggunakan uang pinjaman.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar