Selasa, 14 Maret 2017

Kenanglah Perang Padri


Artikel Pertama

KENANGLAH PERANG PADRI
(1803-1838)

Oleh: Aryandi Yogaswara


Islam di Indonesia (atau Nusantara) sejak memiliki banyak pengikut dan menjadi agama mayoritas di Indonesia pada dasarnya selalu terdiri dari dua golongan besar.

Yang pertama, adalah Islam merah atau abangan, disebut juga sebagai Islam Adat, yaitu  para penganut agama Islam yang tidak sepenuhnya berkesesuaian dengan atau mengikuti syariat agama Islam yang dijalankan di tempat asalnya yaitu tanah Arab.

Yang kedua, adalah Islam putih atau Islam syariat, atau Islam fundamentalis, yang mengikuti kepada apa yang disampaikan oleh para Ulama yang memiliki keyakinan dan kecenderungan bahwa Islam mestilah mengikuti paham yang murni, Islam mestilah sebagaimana dan mendekati apa adanya ketika diturunkan di tanah Arab jaman Rasulullah.

Antara Merah dan Putih ini tentu selalu ada perbedaan, dan apabila tidak disadari kenyataan akan adanya dua pengkutuban besar yang ada, maka berpotensi untuk memungkinkan terjadinya perpecahan yang besar, dengan atau tanpa disadari.

Semestinya, kedua kutub alamiah Islam, apabila menyadari perbedaan mendasar yang ada, segera mengambil sikap, bahwa sebagaimana yang dituangkan dalam Pancasila, bangsa Indonesia memandang keyakinan agama dan kepercayaan adalah hak pribadi seseorang terhadap Tuhannya.

Tidaklah boleh terjadi pemaksaan keyakinan antara kedua jenis kondisi Islam, baik putih kepada merah maupun sebaliknya dari yang merah kepada yang putih.

Yang harus diutamakan adalah saling hormat menghormati dan bekerja sama dalam kerukunan dan semangat kekeluargaan serta gotong royong.

Apabila salah satu keyakinan ingin menyampaikan keyakinannya kepada yang lain, satu satunya ruang yang terbuka adalah hanyalah melalui musyawarah atau diskusi yang sehat, yaitu saling menyampaikan kebaikan dari masing masing keyakinan agar bertambahlah hikmat dan kebijaksanaan bagi kedua belah pihak sebagai hasil dari setiap perdiskusian yang didasari semangat kebersamaan.

Semua mestilah selalu ada dalam batasan koridornya masing-masing sehingga tidak terjadi sebab-sebab perselisihan dan permusuhan yang sangat merugikan dan tiada manfaatnya karena ada batas keharmonisan yang dilanggar.

Karenanya, menyikapi terjadinya perbedaan-perbedaan yang saat ini terjadi antar sesama umat muslim di Indonesia, tulisan ini bersifat ajakan, marilah kita kembali pada semangat Pancasila. Bahwa adanya perbedaan itu wajar dan baik adanya, sebagai Rahmat dari Yang Maha Kuasa.

Janganlah sampai perbedaan-perbedaan yang ada, baik dalam sesama agama dan kepercayaan, maupun antar atau lintas agama dan kepercayaan menjadi sebab perpecahan yang akan sangat disesali kemudian dan menjadi sebab pintu masuknya kekuatan asing dan kepentingannya, yang diuntungkan dengan tidak rukunnya kita, bangsa Indonesia.

Ingatlah awal dan sebab terjadinya Perang Padri, ketika sebagian Ulama yang baru pulang berhaji bersemangat untuk membawa masyarakat Adat menuju Islam yang berlandaskan syariat yang utuh.

Kemudian melalui berbagai perundingan yang tidak tercapai sepakat, terjadilah pertikaian yang menyebabkab peperangan antara kaum Padri dengan kaum Adat, yang kemudian meluas dan menjadi rumit dengan menjadi perang antar Suku.

Kemudian masuklah Belanda, terjadilah sesuatu yang sebelumnya tidak diduga kedua belah pihak, bahwa yang kemudian menjadi dominator ternyata jadi pihak Belanda. Sementara anak bangsa yang dulu hidup berdampinganlah yang paling rugi dan banyak menjadi korban peperangan.

Pada tahun 1833, setelah hampir 30 tahun bertikai, dibawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol, baik kaum Adat maupun kaum Padri, menyesali atas apa yang telah terjadi dan betapa perang telah memisahkan persaudaraan mereka dan yang menjadi sengsara ternyata adalah keluarga mereka sendiri. Akhirnya kedua pihak sepakat untuk menyerang Belanda bersama sama.

Namun, terlambat sudah. Belanda sudah kehilangan banyak dan kalau sampai tidak memenangkan perang, akan rugi besar sekali. Meyakini harus memenangkan perang, Belanda berkomitmen melakukan totalitas.

Tahun 1837 didatangkan armada perang besar Belanda yang berkekuatan pasukan gabungan yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku bangsa Nusantara, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap atau Madura).

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.

Demi penguasaan kebun kebun kopi yang adalah komoditas berharga saat itu, hancurlah kekuatan perlawanan Padri.


Saudara-saudara,

Saat ini sudah 200 tahun berlalu dari awal kejadian perang Padri.

Mari bangsa Indonesia, jangan berpecah belah. Belajarlah dari kenangan sejarah bangsa ini. Kembalilah pada Pancasila yang telah mengikat dan mempersatukan kita semua menjadi satu cikal bakal bangsa yang besar di bumi.

Jangan berpecah atau kita akan menyesali kemudian dan tiba-tiba kekuatan asing sudah ada disini, menjadi penguasa kita lagi seperti dulu.

Kepada Yang Maha Kuasa kita berharap perlindungan dan rahmatnya, semoga bangsa ini selamat dari segala kemungkinan perpecahan dan permusuhan yang ada.

Demikian yang ingin disampaikan.

Dan sebagai penutup tulisan, mari kita renungkan butir-butir Pancasila sila Pertama berikut ini:


PANCASILA

Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa

Simbol: Bintang

Butir-butir Pancasila:

1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.

7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.


Maka, ketika saya sebagai muslim ditanya, "Anda Islam merah atau putih?"

Jawaban saya adalah:

"Muslim di Indonesia, selama menetapi nilai-nilai Pancasila, baik yang merah maupun putih, marilah kita kenali sebagai Islam Indonesia yaitu Islam merah putih yang berbaur menjadi satu, yang saling menghargai perbedaan dan menerima keragaman."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar